Rano Karno & Ratu Atit Chosiyah

Rano Karno & Ratu Atit Chosiyah
Rano Karno & Ratu Atit Chosiyah

Selasa, 26 Juli 2011

Rano Karno Terjebak Ambisius

http://endibiaro.blogdetik.com/?p=356

Cermin Buram Rano Karno yang Terjebak Ambisi Mengalahkan Dede Ysusuf Jadi Wagub

rano-karno
Rano Karno. Di dunia film, ia orang besar. Berkarya besar. Boleh jadi juga membukukan sejarah besar (via, misalnya, Si Doel Anak Sekolahan). 


Rano Karno. Di dunia politik, adalah popularitas besar. Pernah (mencicipi kemenangan besar, di Pilkada Kabupaten Tangerang). Menghadapi masalah besar. Dan barangkali juga konflik besar. Mudah-mudahan saja, ia tak mengalami sesuatu yang bisa disebut: kesalahan besar!

Ia juga seseorang yang, sebagaimana layaknya karakter manusia-manusia terpilih, mampu menerobos batas. Bisa disebut mendobrak tradisi. Bahwa di saat para pegiat sinematografik, entah di layar bioskop atau televisi, ramai-ramai menjual kemewahan dan pesona fisik, beliau justru menawarkan gambaran hidup unik, bersahaja —sekaligus jenaka. Apa yang telah dibuat putera dari Soekarno M. Noer ini, juga menyumbangkan sebuah semangat penting —bagi banyak orang di Indonesia. Bahwa untuk berkarya di sebuah bidang kehidupan, tak perlu dan tak wajib sekolah tinggi-tinggi —di bidang tertentu. Rano Karno, sebagaimana kita tahu, tak pernah kuliah di jurusan seni atau program studi film. Tapi lihat saja hasilnya!

Catatan paling pokok, demi membincang Wakil Bupati Kabupaten Tangerang ini juga mesti menyelusup ke waktu terjauh. Kiprahnya bukan sekelebatan angin. Sedari awal, bahkan di usia belia, ia telah mengecap asam-garam industri per-film-an. Di sini, asas totalitas, profesionalitas, dan dedikasi, menjadi perkara inti. Saking jauhnya perjalanannya di bidang ini, tak layak kalau kita meragukan bahwa ia telah menemukan passion (hasrat jiwa). Tak lagi sekedar menjadi aktor karena tuntutan ekonomi, misalnya. Tetapi benar-benar menemukan aktualisasi diri. Menikmati sepenuhnya karir yang membesarkan namanya. Dalam bahasa teori Maslow, ia berada dalam posisi Self Esteem (menikmati aktualiasi diri).

Lalu waktu bergulir. Di paruh terakhir, seiring lewatnya masa golden ages (tahun-tahun emas) dalam perjalanan hidupnya, Si Doel inipun memutar jarum sejarah atas nama dirinya sendiri.

Riwayat Politik
Persisnya, ketika bintang film remaja era 80-an ini bertempur di Pilkada Kabupaten Tangerang (Tahun 2007 lalu). Kala itu, sang tokoh kita ini dipinang oleh Incumbent (Bupati Tangerang), yaitu Ismet Iskandar. Tanpa perlu ba-bi-bu, kehadirannya hanya menggotong satu menu inti: melawan pesaing terkuat (yaitu pasangan Jazuli-Airin, koalisi PKS, PPP, dan PPNUI). Pinangan ini makbul, pasangan Ismet dan Rano unggul —jauh melampaui para pesaing. Namun saat itu ada tetesan makna penting, selain soal nama beken yang mendongkrak perolehan suara.

Tak lain, bahwa Rano berada di kubu yang mewakili semangat anti Banten, tepatnya anti dinasti politik Banten (yang dikuasai keluarga besar almarhum Chasan Shohib). Publik di Kabupaten Tangerang seperti mendapat berkah atas kehadiran Rano. Karena mengkombinasikan faktor kepemimpinan politik dari (asli) Tangerang, sekaligus melakukan perlawanan atas kekuatan super power dari sentra politik di Banten. Dengan demikian, ada dua pilar kemenangan yang menyertai riwayat politik tahap awal untuk Rano Karno. Pilar pertama adalah ghirah politik untuk menyelamatkan Kabupaten Tangerang dari kuku kekuasaan Banten. Pilar kedua, mengimbangi intervensi dan popularitas calon (pesaing) yang berasal dari keluarga Dinasti Politik Banten. Bedanya, bila popularitas Rano adalah asli, tanpa rekayasa. Sementara popularitas keluarga politk di Banten ditopang oleh mesin uang. Rumus itu ternyata sukses.

Lalu Kini?
Kini, Rano Karno seolah menjadi petualang —sebelumnya, di dunia film, ia benar-benar layak disebut sebagai pejuang.

Jauh dari totalitas sebuah komitmen. Lantaran tak ada dokumen publik yang membuktikan bahwa ia sewaktu bertarung di Tangerang, adalah dalam rangka “perjalanan paruh waktu”. Senyatanya, janji politik dan tema kampanye di Tangerang (dulu), adalah melakukan perubahan politik dan melanjutkan pembangunan di Tangerang. Itu artinya, butuh pengabdian total. Termasuk janjinya untuk meninggalkan dunia lamanya (agar bisa konsentrasi penuh sebagai wakil bupati). Tapi jauh panggang dari api, bukan hanya masih (sesekali) melakoni profesi lama, malah kini menapak pindah haluan politik. Menyeberang ke kubu yang dulu menjadi lawan.

Maka, jelas Rano hari ini adalah sosok yang melengkapi dirinya dengan atribut politisi kelas pemburu kekuasaan. Dengan sejumlah logika pembenaran yang menyertai.

Cermin Buram
Di sinilah garis pembeda mengemuka. Bahwa Rano hari lalu adalah cermin bening untuk sebuah komitmen, passion, prestasi, dan taburan jasa. Sementara dalam rekam jejak politik, ia bahkan belum tuntas menjabat (sebagai Wakil Bupati). Belum terdengar karya politik dan jasa monumental atas posisinya selama ini. Kalaupun ada yang menonjol, tak lain adalah bahwa ia memang telah menjadi politisi, yang tak hirau nilai-nilai keberpihakan terhadap masalah rakyat yang pernah memilihnya. Rano hari ini adalah cermin buram…

Agaknya, titik inilah yang patut dilirik oleh publik Banten. Bahwa oportunisme politik (selalu berjibaku dengan peluang kekuasaan) adalah bagian dari tradisi politik yang telah begitu pekat. Teramat bertolak belakang dengan kebutuhan faktual di lapangan. Medan politik Banten hari ini, sesungguhnya butuh penyegaran. Setelah terlalu lama beku dalam format politik gaya lama. Dengan prestasi yang tak pernah benar-benar membantu menolong rakyat di provinsi pecahan dari Jawa Barat ini.

Kondisi ini makin parah karena daya dobrak dan kekuatan pengimbang kian tak kelihatan. Orang berbondong-bondong menjadi baut dan sekrup dari mesin kekuasaan Dinasti Banten. Memiskinkan potensi untuk mendobrak dan melakukan perubahan. Jika seperti ini yang terus terjadi, maka ajang Pilkada Banten November mendatang, hanya sekedar jadi alat legitimasi. Sama sekali tak menjadi alat delegitimasi. Entahlah…

Rano Karno Anak Bonjol Padang Sumatra Barat Mengaku Betawi di Banten

Menghalalkan segala cara demi jadi Wagub Banten 2011

Rano Karno Anak Bonjol Padang Sumatra Barat Mengaku Betawi di Banten

Ternyata Polling Marissa Haque Istri Ikang Fawzi Masih Sangat Tinggi Tahun 2011 di Propinsi Banten: Ferry M A


Ada Perang Artis di Pemilu Kada Banten 2011
Rabu, 06 Juli 2011 21:45 WIB     
Rano Karno & Ratu Atut C--MI/M Irfan/Rommy Pujianto/rj
SERANG--MICOM: Pemilihan Gubernur dan wakil gubernur Banten 2011 diprediksi akan diwarnai dengan perang artis untuk mendongkrak perolehan suara, menyusul hampir dipastikannya calon incumbent Ratu Atut Chosiyah yang akan menggandeng Rano Karno.

Ada Perang Artis di Pemilu Kada Banten 2011"Persaingan sejumlah artis untuk mendongkrak suara pada Pilgub Banten 2011 kemungkinan bisa terjadi. Sebab, berbagai pengalaman pemilu kada sejumlah daerah membuktikan calon yang berasal dari kalangan artis mampu mendongkrak suara pasangannya," kata pengamat politik Universitas Mathaul Anwar Ali Nurdin di Serang, Rabu (6/7).

Ali Nurdin saat dimintai pendapatnya terkait peta Pilgub Banten 2011 mengatakan, sebagai salah satu buktinya peran kuat artis dalam mendongkrak perolehan suara pada Pilkada di wilayah Banten yakni Rano Karno pada pemilu kada Kabupaten Tangerang, sehingga menjadi pemenang bersama Ismet Iskandar.

Sebelumnya, pada pemilu kada Banten 2006 juga memunculkan artis Marissa Haque yang harus diakui mampu mendongkrak perolehan suara cukup signifikan yakni mencapai 32 persen. Begitu juga pada pemilu kada Jawa Barat, artis Dede Yusuf juga menjadi faktor kemenangan bersamapasangannyan Ahmad Heryawan.

Namun demikian, kata dia, selain faktor figur yang populer tetapi juga harus memperhatikan sisi lainnya berupa tingkat sentimen negatif yang melekat pada calon. Sehingga pasangan yang memiliki sentimen negatif itu meskipun populer, jangan sampai malah menurunkan elektabilitas pasangan tersebut. (Ant/OL-2)

Antara Setan, Neraka, dan Koruptor: Ferry Muchlis Ariefuzzaman


Jodhi Yudono | Minggu, 24 Juli 2011 | 12:39 WIB

Share:
Frans Sartono
Hai setan kini engkau menang, semoga engkau senang/ Kudoakan kepada Tuhan, untukmu komohonklan neraka jahanam ...

Itu potongan lagu ”Neraka Jahanam” yang dibawakan dua jawara rock, Duo Kribo:Ahmad Albar dan Ucok ”AKA” Harahap pada 1978. Lagu-lagu rock era 1970-1980-an memang berkutat pada imaji-imaji seputar setan, neraka, badai, dan hujan. Gambaran serba keras, seram, dan angker itu lahir dari impresi auditif atas musik rock, terutama dari distorsi gitar yang keras-keras kasar, meraung-meraung, serta dentuman drum.

Selain lagu ”Neraka Jahanam”, muncul juga lagu-lagu, seperti ”Selimut Neraka” (SAS), ”Jarum Neraka” dan ”Tangan-Tangan Setan (Nicky Astria), ”Setan Ketawa” (God Bless), ”Preman Metropolitan,” dan ”Air Api”(Ikang Fawzi), serta ”Hujan Badai” (Panbers). Atau simak lagu rock versi Koes Plus seperti ”Hujan Angin,” ”Kelelawar,” ”Kala-kala Hitam,” dan ”Hanya Pusaramu.”
Ian Antono, gitaris God Bless, mengakui impresi auditif dari musik rock, terutama bunyi gitar yang keras-keras distortif dan gemuruh drum, merangsang gagasan untuk melahirkan lirik lagu bercitra keras dan seram.

”Lirik disesuaikan dengan warna distorsi, suara gitar meraung-raung, drum yang full power, dan kebingaran musik. Kalau dibikin lagu, kita gambarkan setan itu begitu,” kata Ian yang bersama God Bless tampil dalam perhelatan musik Java Rockin Land, pekan ini.

Benny Panjaitan dari band Panbers menulis lagu ”Hujan Badai” karena menurut dia musik rock memang harus keras. Oleh karena itu, tema-tema lagu yang menggambarkan suasana keras dianggap sesuai jika dibawakan dalam kemasan musik rock. ”Hujan, apalagi badai itu kan keras. Itu cocok untuk tema lagu rock,” kata Benny.

Mungkin yang paling jujur dari semua lagu tersebut adalah Benyamin S. Dia secara apa adanya dan dengan gaya kocak menerjemahkan kesan meledak-ledak dari musik rock dalam lagu ”Kompor Meleduk.” Begini lirik awalnya: ”Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk/ Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor mleduk.”

Lebih polos lagi, Benyamin ”mentransformasikan” gaya menyanyi penyanyi rock yang pecicilan dan penuh teriak itu dalam lagu ”Kesurupan.” Ia menirukan gaya orang kesurupan dengan gaya banyolan khasnya, ”Hei setan mana ini? Setan Gundul.” Di tangan Benyamin, rock menjadi komedi. Lagu rock digunakan untuk main-main dengan semangat kerakyatan.

Meniru dan identitas
Apa boleh buat, rock datang ke Indonesia sebagai suara. Bukan sebagai sebuah gerakan budaya kaum muda seperti yang terjadi di Barat, tanah asalnya. Yang kemudian tertangkap di sini adalah aspek suara yang ingar. Bernyanyi rock dalam bahasa Indonesia dirasa oleh seniman Melayu sebagai perkara yang tidak mudah.

”Penataan nadanya susah karena kita terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Kemudian kita harus menggunakan bahasa Indonesia. Mengucapkan ’aku cinta padamu’ saja rasanya juga aneh,” kata Ian Antono mengenang masa ketika harus membuat rock dalam bahasa Indonesia. Belakangan Ian produktif menulis lagu rock, bekerja sama dengan penulis lirik.

Pengamat dan praktisi musik, Remy Sylado, bisa memahami kesulitan musisi Indonesia tersebut. Salah satu faktor penyebabnya adalah panjangnya suku kata dalam bahasa Indonesia. ”Untuk mengatakan I love you saja dari tiga suku kata perlu tujuh suku kata menjadi a-ku cin-ta pa-da-mu,” tuturnya.
Proses mengindonesiakan rock memang melewati tahapan meniru.

Arthur Kaunang, pemetik bas band AKA dan kemudian membentuk SAS bersama personel AKA Sunata Tanjung dan Sjech Abidin, itu mengakui proses meniru merupakan sesuatu yang wajar. AKA dan SAS, misalnya, banyak membawakan lagu Jimi Hendrix, James Brown, Black Sabbath, Grand Funk Railroad, dan ELP.

”Kami saat itu masih sebagai pemain (lagu orang). Tapi, itu menjadi dasar untuk menjadikan rock sebagai tuan rumah di negeri sendiri,” kata Arthur.

Ian Antono juga mengakui melewati proses meniru sebagai semacam tahapan belajar untuk akhirnya mendapatkan identitas personal dan rasa percaya diri . ”Aransemen (band yang ditiru) itu melekat di kepala. Menghilangkannya yang susah. Sampai ada not-not Genesis yang masih terasa,” kata Ian jujur.
Dalam proses tersebut, penyanyi Ikang Fawzi memilih Rod Stewart yang bersuara serak. Di panggung ia sering membawakan lagu Rod, seperti ”I Don't Wanna Talk About It.” Menurut Ikang, banyak orang yang suka ketika ia membawakan lagu-lagu penyanyi Rod. “Dulu saya nyanyi berbagai lagu, tapi kalau pas membawakan lagu rock, apalagi dari Rod Stewart, responsnya meriah, jadilah saya sering nyanyi lagu-lagunya,” kata Ikang.

Pemilihan itu menurut Ikang tidak hanya berdasarkan pada kekagumannya pada sang idola, tetapi tak lepas dari warna suaranya. Ia memang mengalami kelainan epiglottis yang menyebabkan suaranya tak bening atau serak. Jadilah Ikang sebagai Rod Stewart ”Melayu” dengan serak-seraknya itu.

Ganyang koruptor
Begitu juga Slank, band yang muncul pada 1983 atau setelah era AKA dan God Bless. Sebelum mendirikan Slank, Bimbim bergabung dalam Cikini Stone Complex (CSC) yang khusus menyanyikan lagu-lagu Rolling Stones. ”Sejak SMP saya sudah nge-band, dan nyanyi lagu-lagu Rolling Stones. Masanya memang seperti itu. Kalau main musik bisa sama persis dengan band Barat yang ditiru, kita sudah hebat,” ujar Bimbim.

Slank pada awal berdirinya masih membawakan lagu-lagu Barat ketika manggung, tapi porsinya hanya 50 persen. ”Kami nyanyi 50 persen lagu-lagunya Rolling Stones, Bon Jovi, Van Hallen. Sisanya 50 persen nyanyi lagu sendiri,” ujarnya.

Belakangan Slank merasakan lagu Barat sudah tidak cukup lagi untuk mengekspresikan diri. Pada saat yang sama, Slank punya kebutuhan untuk berekspresi sendiri melalui lagu.

”Gue pengen teriak tapi enggak bisa kalau pakai lagu Barat. Akhirnya gue teriak pakai lagu-lagu sendiri. Kita teriak protes pada orangtua. Kita juga mulai bicara soal love, peace, dan youth,” ujar Bimbim.

Slank juga menggunakan musik rock untuk untuk menyuarakan sikap antinarkoba, antikorupsi, serta antiperusakan hutan dan lingkungan. Mereka menyerukan perdamaian, solidaritas sosial, saling menghargai, lingkungan dan alam, serta persaudaraan. Dengan rock, Slank mengutuk para koruptor lewat lagu

”Bobrokisasi borokisme”
Dibagi rata semuanya diam
Rame-rame kita korupsi berjamaah
Bobrokisasi borokisme
Rock tampaknya makin relevan saat ini ketika korupsi makin merajalela. Yeaaach! (BSW/NIT)